BANGGAI KEPULAUAN (2)

Kamis, Juni 26


Setelah permasalahan Poso sedikit demi sedikit terselesaikan seiring penangkapan dan pembinaan para tersangka yang berperilaku teroris, kini di sudut Propinsi Sulawesi Tengah tepatnya di Kab. Banggai Kepulauan mengalami eskalasi politik yang berujung pada upaya cerai paksa wilayah Kec. Banggai dan sekitarnya terkait putusan MK yang menolak gugatan judical review pasal 10 UU No.51 tahun 1999 dan memilih bergabung ke Maluku Utara.

Tak ayal.., putusan MK tersebut membuat massa yang tergabung dalam Forum Mondopulian Banggai Bersatu (FMBB) marah. Wujud kemarahan dinyatakan dengan aksi penyitaan aset pemda Bangkep agar tidak dipindahkan ke Salakan, penghapusan papan nama Bangkep, serta pencopotan plat nomor DN (plat nomor wilayah Polda Sulteng). Serangkaian aksi itu diakhiri dengan penyerahan KTP Sulteng dan pengusiran sejumlah anggota DPRD Banggai Kepulauan yang berada di Banggai.

Berbagai aksi tersebut merupakan buntut dari perebutan ibukota Bangkep antara Banggai dengan Salakan. Sesuai pasal 10 UU No.51 tahun 1999 menyatakan bahwa Banggai ditetapkan sebagai ibukota sementara sedangkan pada pasal 11 dalam UU yang sama menyatakan Salakan sebagai ibukota. Adanya pasal 10 dan 11 tersebut menimbulkan multi interpretasi bagi masing-masing pihak. Pihak Banggai menganggap bahwa banggai sebagai ibukota. Begitu juga sebaliknya.

Menengok jauh kebelakang sebelum penetapan pasal 10 dan 11 dalam UU No.51 tahun 1999, ada seletingan di kalangan aktivis LSM dan elit politik lokal bahwa pihak Banggai sangat pelit menggelontorkan rupiah kepada anggota DPR-RI guna penepatan ibukota Bangkep, sehingga munculah pasal itu. Katanya..., pasal 11 adalah pasal siluman yang berasal dari uang siluman.

Fakta atau hanya cerita, tetap saja menjadi harus menjadi pedoman hukum. Dan itu sudah ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi, lembaga hukum paling tinggi di negara kita. Bila FMBB kecewa dan marah serta menolak putusan MK, lalu mau dibawa kemana negara kita.

Padahal FMBB merupakan kumpulan orang yang berasal dari PRD dan Partai Hanura. Mereka tentunya “melek hukum”, hingga tidak mungkin rasanya mereka menjadi pelopor kegiatan rusuh di Banggai. Tapi faktanya demikian. Dalam berbagai kesempatan, para petinggi FMBB menyuarakan bila Banggai tidak menjadi ibukota maka mereka akan memisahkan diri dari Sulteng dan akan memerdekakan diri dengan membentuk Republik Sosialis Banggai. Bukan main mereka. Hari gini mau makar???

Setelah aspirasi untuk makar tidak mendapat sambutan luas (mungkin tahu kalau resiko makar adalah ditumpas habis ...he he he) mereka mengalihkannya dengan bergabung dengan Maluku Utara. FMBB segera membentuk Panitia Kerja untuk percepatan bergabungnya Banggai dengan Maluku Utara sekaligus mewakili masyarakat Banggai untuk menghadap ke Kesultanan Ternate.

Seandainya....Maluku Utara bersedia menampung Kec. Banggai dan sekitarnya menjadi bagian dari mereka dan hanya menjadikan sebagai wilayah kecamatan baru.., apakah FMBB (Banggai) mau?? Kalau menjadi kab baru..apakah Malulu Utara mau membiayai kabupaten baru itu. Mau bergabung tapi minta daerah menjadi otonom..walah.... Itulah manusia Indonesia.

Menjadikan Banggai sebagai kabupaten baru sebenarnya sudah direkomendasikan oleh pemda Sulteng dan hal itu sesuai dengan kesepakatan 5 Maret 2007 yang antara lain menyatakan percepatan pemekaran Banggai Laut sebagai upaya penyelesaian konflik perebutan ibukota Banggai Kepulauan.

Hayo..., pilih mana? Bercerai dari Sulteng tapi tetap menjadi kecamatan atau tetap menjadi bagian dari Sulteng namun menjadi daerah otonom baru.

Au ha lap.



0 komentar:

Posting Komentar

Tempat Caci Maki.....

Image hosted by servimg.com

  © Blogger Template News Kidding On The Blog by Bagus Pras 2010

Back to TOP